Aku Mencintai Jakarta, tetapi Tak Bisa Bersuara

Siapa yang bisa memilih kota kelahiran? Setelah lahir, kita barulah bisa memilih. Ganti status penduduk, ganti kewarganegaraan. Tapi, itu berlaku untuk kalian. Tidak untukku.

Sudah lebih dari 50 tahun, aku tak beranjak ke mana-mana. Tetap di sini. Jakarta. Kota yang katanya kerap mencuri perhatian seluruh warganegara, termasuk di jagat sinetron. “Memangnya Indonesia hanya Jakarta? Dasar Jakartanisasi!” Begitu kata mereka.

Jakarta itu… kota yang katanya bising, suka bikin pusing. Tapi, masih saja ada yang gemar berteriak nyaring memanggil anjing!

Jakarta itu… kota yang katanya jawara macet. Tapi, masih saja ada yang tak sadar bahwa dia sendiri yang menjadi penyebabnya.

Jakarta itu… love-hate relationshit, eh relationship. Katanya.

Berada di ketinggian 132 meter, aku melihat Jakarta. Mulai dari apa adanya sampai ada maunya.

Ada yang bernyanyi, mengumbar janji.

Ada yang bernyanyi, membicarakan orang-orang yang mengumbar janji.

Ada yang merasa suci, menghujat orang-orang yang dibenci.

Ada yang membuang sampah dari dalam mobil yang berjalan.

Ada yang bicara sampah sambil turun ke jalan.

Ada pengamen mencari rezeki di bus kota.

Ada preman bermodus pengamen di Kopaja.

Ada tuna netra menjajakan kerupuk di jalanan.

Ada yang berpura-pura tak bisa apa-apa, menjajakan kebohongan di jalanan.

Ada penyapu jalanan yang tak kunjung tuntas menyapu kepura-puraan.

Ada pejalan kaki susah menyeberang.

Ada pejalan kaki bertemu si mata keranjang.

Ada karyawan jabatan rendah punya cicilan selangit.

Ada perantau yang mengincar Jakarta, tapi belum dapat panggilan kerja.

Ada perantau yang benci Jakarta, tapi tetap saja memburu harta.

Ada perantau yang bangga tinggal di Jakarta meski gaji tak seberapa.

Ada mobil jenazah kena macet.

Ada plat merah tanpa jenazah bebas macet.

Jalan tol bebas hambatan adalah fana!

Ah, Jakarta. Incaran para penguasa. Kau mau berbuat apa, wahai Tuan Penguasa?
Sudah lebih dari 50 tahun, aku tak beranjak ke mana-mana. Tetap di sini dan tak bisa bersuara apa-apa.

Aku pasrah dijodohkan dengan penguasa model macam apa. Aku pikir, semua sebenarnya sama-sama mencintai kota ini, hanya saja… mereka memiliki cara mencintai yang berbeda. Ya, kalau sudah perkara cinta, memang bisa dibagi-bagi dengan sama rata?

Aku pasrah dijodohkan dengan penguasa model macam apa. Sama halnya ketika aku berkenalan dengan langit Jakarta. Kadang ia meneduhkan, kadang ia membuatku cemas kalau-kalau sudah berganti warna menjadi gelap. Kemuramannya mendatangkan hujan lebat dan Jakarta pun kena banjir. Tapi, apakah aku harus menghujatnya?

Yang kulakukan, berbicara dengan gedung-gedung yang nyaris mencakar-cakar langit agar menata diri. Berbicara dengan sungai-sungai agar membersihkan diri. Berbicara dengan pohon-pohon yang kalah tinggi agar lekas tumbuh. Biarkan akarnya menyapa dasar Bumi dan daun-daunnya penghalau polusi. Jangan ada oksigen yang dikorupsi! Tapi, mereka pun tak bisa berbuat apa-apa jika manusia makin jemawa. Mereka pikir, semuanya serba otomatis. Praktis.

Sudah lebih dari 50 tahun, aku tak beranjak ke mana-mana. Tetap di sini dan tak bisa bersuara apa-apa. Aku tak bisa bersuara kepada manusia karena bahasa yang berbeda. Aku hanya bisa berdoa (meski aku tak punya agama) kepada mereka sebagai penciptaku dan Jakarta. Jika penguasa mencintai Jakarta dengan cara yang tak disuka, setiap orang tetap berhak menjadikan Jakarta lebih bersahaja.

***

“Eh, Monas kui koyo opo sih isine? Jarene, ono emas’e?”

“Kagak tahu juga, sih! Gue malah belum pernah masuk. Hahaha…”

“Oalah… wong Jakarta, kok belum pernah masuk ke sana. Untung, aku ngejak kowe toJadine, kowe iso ndelok Monas…”

Sudah dulu melamunnya. Sudah jam buka. Saatnya menyambut mereka yang ingin menyapaku.

Ps:
Aku mencintaimu, Jakarta.


2 thoughts on “Aku Mencintai Jakarta, tetapi Tak Bisa Bersuara

Leave a comment