Radio sebagai Media Pengisi Waktu Luang

Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Media dan Hiburan

Upaya Radio Menarik Perhatian Para Pendengar

Kehadiran media radio tidak dapat dilepaskan dari inovasi teknologi yang dilakukan oleh Marconi. Teknologi yang bersifat titik ke titik ini kemudian disambut oleh kalangan pers cetak untuk tujuan aktualisasi berita, dan oleh warga masyarakat untuk komunikasi. Penggunaan media ini mmpengaruhi banyak aspek kehidupan, khususnya dalam bidang sosial dan ekonomi, masyakarat sebagai pengguna teknologi radio berlanjut terus saat kemunculan teknologi radio yang bersifat penyiaran (Bittner dalam Siregar, 2001:189).

Terjadi perbedaan dengan sejarah yang dialami oleh radio di Indonesia. Media Indonesia pada awalnya melekat pada pemerintah yang sedang berkuasa, atau yang disebut dengan radio pemerintah. Sejak zaman kolonial Belanda sampai pendudukan Jepang, media siaran diselenggarakan oleh pemerintah. Pembatasan dan penyegelan terhadap radio yang mempunyai orientasi anti-pemerintah pun masih marak terjadi hingga masa Orde Baru (Siregar, 2001:190). Walaupun begitu, pada tahun 1960-an bisnis radio komersil mulai terlihat dan sampai saat ini jumlah radio swasta semakin meningkat dan terlebih lagi semakin maraknya radio lokal yang juga ikut berkembang.

Radio sebagai media massa memang masih kalah populer dengan media televisi ataupun koran, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa persaingan stasiun radio di kota-kota tertentu dewasa ini cukup tinggi dalam merebut perhatian audien. Pada tahun 2005 saja sudah ada sekitar 10.000 frekuensi di Indonesia baik resmi maupun tidak resmi (http://www.suaramerdeka.com diakses pada tanggal 21 Mei 2010). Oleh karena itu, program radio harus dikemas sedemikian rupa agar dapat menarik perhatian dan dapat diikuti sebanyak mungkin orang. Jumlah stasiun radio yang semakin banyak ini mengharuskan pengelola stasiun untuk semakin teliti dalam membidik target audiennya. Setiap program harus mengacu pada kebutuhan audien yang menjadi target stasiun radio tersebut. Hal ini nantinya yang menentukan format stasiun penyiaran seperti apa yang harus dipilih. Salah satu proses penentuan format adalah melalui riset ilmiah untuk mengetahui apa kebutuhan, dan bagaiamana perilaku sosiologis-psikologis target audien nantinya (Morissan, 2008:221).

Radio yang muncul sebagai salah satu produk media massa ditandai dengan fungsinya sebagai penyampai informasi. Secara garis besar, informasi sendiri dapat dibedakan antara informasi yang hanya menyentuh aspek psikologis (sensasi) konsumen, informasi yang bernilai pragmatis bagi konsumen produk dunia industri, dan informasi yang bernilai pragmatis tinggi karena dapat digunakan dalam pekerjaan atau ativitas lainnya (Siregar, 2001:178). Dengan begitu, radio tidak hanya berbicara mengenai pemenuhan dari segi kognitif pendengar saja tetapi juga memasuki aspek psikologi para pendengarnya.

Keberadaan radio juga tidak bisa terlepas dari para pendengarnya Pendengar yang setia tanpa ragu-ragu akan menunjukkan kesetiannya terhadap suatu program yang mempunyai ketertarikan yang kuat terhadap audiennya, misalnya saja dengan mengikuti secara terus-menerus program tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada kedekatan emosional antara radio dengan pendengarnya. Selain itu, keterlibatan dalam mailing list, pertemuan-pertemuan (gathering), dan siaran tidak langsung merupakan contoh implementasi dari rasa ketertarikan terhadap radio (http://powerfulqueen.multiply.com diakses pada tanggal 21 Mei 2010). Misalnya saja yang dilakukan oleh Radio Female yang mempunyai segementasi audien perempuan muda yang dewasa dan juga yang sudah berkeluarga. Stasiun radio tersebut mempunyai program gathering rutin berupa arisan bersama dengan komunitas pendengar setia yang mereka bentuk. Komunitas pendengar setia pun akhirnya dapat terbentuk dan tentu saja hal tersebut membutuhkan proses yang cukup lama, tidak instant.

Komunitas pendengar radio sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang pertama komunitas yang sengaja dibangun dan dibentuk oleh radio. Kedua, pihak radio yang ingin melayani komunitas yang sudah ada. Radio sendiri sebenarnya hanya menjadi suatu alat pendukung sehingga komunitas mempunyai wadah untuk menyalurkan ekspresi (Nana Suryadi, Program Director Radio Prambors dalam http://powerfulqueen.multiply.com diakses pada tanggal 21 Mei 2010). Setiap stasiun radio selalu berusaha melakukan yang terbaik bagi pendengar setianya. Apalagi jika pendengar setianya juga mampu mengajak orang lain untuk ikut mendengarkan stasiun radio yang mereka sukai.

Beberapa hal yang telah dilakukan oleh sebagian stasiun radio untuk tetap menarik orang-orang untuk tetap mendengarkan media ini sebagai pengisi waktu luang atau “teman” kerja/aktivitas di manapun mereka berada. Jika dilihat dari sifat fisiknya, penulis melakukan analisis bahwa ada beberapa hal yang membuat radio masih dapat bertahan hingga saat ini. Analisis ini juga berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis mengenai apa yang membuat pendengar tertarik dengan radio dan menjadikannya sebagai media pengisi waktu luang[1]. Dari sepuluh orang yang diwawancara, enam di antaranya memberikan jawaban bahwa radio merupakan media yang portable. Radio dianggap sebagai media yang dapat diakses di mana-mana dan kapanpun saja. Ratih mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta mengaku bahwa dia dapat mengakses radio kapan saja dia mau. “Di handphone aku kan ada fasilitas radionya, jadinya kalau aku ke mana-mana bisa dengerin radio,” ujarnya.

Jawaban lain yang diberikan adalah karena radio bersifat personal. Hal ini ada kaitannya bagaimana radio dapat diakses secara pribadi, baik melalui handphone, mp4, atau melalui radio tape. Kecenderungan yang terjadi adalah pendengar pada umumnya menikmati radio tidak secara berkelompok atau dalam jumlah besar. Liza mahasiswi Ilmu Komunikasi angkatan 2009 Universitas Atma Jaya Yogyakarta mengaku bahwa dia lebih menyukai radio karena dia dapat bebas memilih stasiun radio mana yang dia inginkan dibandingkan ketika dia menikmati televisi di rumahnya. “Kalau aku nonton televisi, gak bisa ganti-ganti channel yang aku suka. Kalau aku dengerin radio, aku bisa pilih-pilih program yang aku suka soalnya radionya kan ada di kamarku,” ujarnya.

Analisis lain yang berdasarkan penulis adalah radio merupakan media yang lebih tersegmentasi jika dibandingkan dengan media lainnya seperti televisi. Radio tidak melakukan segmentasi hanya pada program yang mereka produksi, seperti yang dilakukan oleh stasiun televisi. Segmentasi dilakukan justru sejak stasiun radio terbentuk yang nantinya berimplementasi pada program-program yang akan disiarkan. Beberapa stasiun radio melakukan segmentasi terhadap target audiennya berdasarkan umur, jenis kelamin, profesi, geografis, atau psikografisnya. Segmentasi tersebut digunakan untuk menentukan kepada siapakah siaran mereka ditujukan. Misalnya saja, Radio Prambors, MTV On Sky, atau Mustang FM memiliki segmentasi pendengar yang berusia 15-25 tahun. Sedangkan Radio M97 Jakarta, mempunyai target audien yang berusia 20-45 tahun, SES AB, dan mempunyai selera musik rock klasik (http://powerfulqueen.multiply.com diakses pada tanggal 21 Mei 2010).

Konsistensi stasiun radio terhadap segmentasi yang dilakukan sangatlah membantu untuk keberlangsungan stasiun radio itu sendiri. Dengan segmentasi yang jelas, maka mereka dapat mempertahankan para pendengar setia mereka yang telah terbentuk dalam jangka waktu yang lama. Tidak dapat dibayangkan jika Radio Prambors tiba-tiba berubah yang pada awalnya merupakan radio anak muda kemudian menjadi radio yang bersegmentasi audien yang berusia 40 tahun ke atas. Hal tersebut akan mempengaruhi content program yang akan disiarkan nantinya dan mereka akan memulai dari awal lagi untuk membentuk pendengar setia Prambors. Selain itu, para pengiklan juga lebih menyukai media beriklan yang mempunyai segmentasi yang jelas dan rinci untuk menyesuaikan dengan produk yang akan diiklankan.

Keistimewaan Radio bagi Pendengar

Telah dijelaskan bahwa bagaimana radio tidak dapat terlepas dari para pendengarnya. Radio mencoba menghadirkan ikatan yang lebih emosional dengan audiennya dibandingkan media massa lainnya, seperti televisi maupun media cetak. Radio merupakan media yang mengandalkan suara, namun justru mempunyai kekuatan untuk lebih untuk menyentuh aspek emosional audien. Pete Schulberg dalam Buku Radio&Advertising mengatakan bahwa Radio the arena is fantasy (www.digilib.ui.ac.id diakses pada tanggal 21 Mei 2010), menjelaskan bagaimana radio mengandalkan kekuatan audio untuk mengajak audien berimajinasi. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis, lima dari sepuluh orang di antaranya mengatakan bahwa radio dapat mengajak mereka berimajinasi dibandingkan dengan media yang menampilkan visualisasi, seperti televisi ataupun media cetak. “Radio itu hebat. Meskipun cuman suara aja yang bisa kita denger, tapi malah bisa ngajak kita untuk berimajinasi. Kalau nonton TV, kita udah dikasih gambar sama suara jadinya ya gak bisa berimajinasi lagi, deh!” Ujar Dewi, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta angkatan 2008. Dengan kekuatan suaranya, pendengar juga diajak berimajinasi wajah dari pemilik suara yang sedang mereka dengar, terutama suara penyiar itu sendiri. Pendengar akan memberikan kesan tersendiri mengenai suara yang mereka dengar. Ketika mereka nyaman dengan suara penyiar tersebut, maka mereka akan menjadi pendengar setia. Oleh karena itu, penyiar radio menjadi salah satu komponen yang penting dalam sebuah stasiun radio (Morissan, 2008:221). Kualitas suara dari si penyiar dapat menunjukkan personality si penyiar itu sendiri dan nantinya dapat mempengaruhi citra dari stasiun radio tersebut.

Ikatan emosional yang dibentuk oleh radio tidak hanya dengan adanya mailing list atau kegiatan gathering bersama dengan para pendengar, tetapi juga bagaimana radio menganggap para pendengarnya sebagai teman dan membuat mereka juga memiliki sense of belonging yang tinggi. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan sapaan yang diberikan oleh stasiun radio terhadap pendengarnya. Misalnya, Sapaan ‘KaMu (Kawula Muda)’ diberikan Prambors kepada pendengarnya, MTV On Sky menyapa pendengarnya dengan sapaan ‘MTV Freaks’, dan Mustang FM memanggil pendengarnya ‘boys and girls’. Radio komunitas pun tidak mengabaikan hal ini, misalnya dengan apa yang dilakukan oleh radio komunitas Atma Jaya Radio yang mempunyai sapaan bagi pendengarnya, yaitu ‘Atma’s Friends’. Melalui sapaan-sapaan dan jargon-jargon yang diberikan oleh stasiun radio kepada pendengarnya, maka para produser radio mampu menarik perhatian pendengar untuk menjalin kedekatan secara emosional, menjadikan pendengar sebagai salah satu bagian dari radio tersebut. Hal tersebut juga dapat memperkuat argumen bahwa radio dapat menciptakan hubungan yang dekat (intimacy) terhadap pendengarnya dibandingkan televisi dan media cetak (Wilby & Andy Conroy, 1994:26).

Perilaku Orang-Orang Menikmati Radio

Penulis akan memaparkan beberapa fakta mengenai perilaku-perilaku yang ditunjukkan ketika orang mengkonsumsi radio. Berdasarkan wawancara terhadap sepuluh orang, delapan orang di antaranya mengatakan bahwa mereka menikmati radio pada pukul 21.00 WIB ke atas, sedangkan dua orang di antaranya mengatakan bahwa terbiasa mendengarkan radio pada waktu sore hari, yaitu sekitar pukul 17.00 WIB sampai dengan 19.00 WIB. Mereka yang menikmati radio pada pukul 21.00 WIB mengatakan bahwa radio sebagai pengantar mereka tidur dan sebagai teman pada saat belajar atau membaca. Mereka lebih nyaman mendengarkan radio sambil belajar karena hal tersebut sudah bagian dari kebiasaan mereka sejak dulu. Maria Lidwina, mahasisiwi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta mengatakan, “Dari SMP, aku udah terbiasa belajar sambil denger radio, lagipula dari dulu emang gak begitu tertarik sama TV.”

Hal lain yang menjadi kebiasaan pendengar adalah menjadikan radio sebagai media penghantar waktu tidur. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh penulis, menunjukkan bahwa mereka lebih senang memilih program musik sehingga dapat membuat mereka tertidur dengan nyenyak setelah beraktivitas seharian. Apalagi, kecenderungan yang terjadi adalah mereka lebih sering mendengarkan radio di dalam kamar tidur mereka sehingga mendukung sekali untuk menikmati radio sebagai “teman” berisitirahat.

Erita Narhetali, Staf Pengajar Fakultas Psikologi menjelaskan bahwa kecintaan pendengar terhadap radio berhubungan dengan teori pembelajaran sosial dan teori kebutuhan. Beliau mengatakan bahwa orang belajar dan merasakan hal itu nikmat, dia menikmati keterlibatan dan akhirnya diulang-ulang. Kepuasan terhadap siaran radio karena sajian acara yang menarik, menjadikan “candu” bagi seseorang untuk selalu mendengarkan radio yang diminatinya. Tingkat keterlibatan pendengar, dalam Ilmu Psikologi dapat dilihat dari segi emosional, fisik, dan kognisi. Sistem pemrosesan informasi dinilai juga memiliki peran, yaitu pendengar cenderung akan menyimpan stimulus menyenangkan yang masuk dibandingkan stimulus yang tidak menyenangkan (http://powerfulqueen.multiply.com diakses pada tanggal 21 Mei 2010).

Dewi, salah satu responden yang penulis wawancarai juga menceritakan bagaimana dia menikmati siaran radio saat mendengarkan program curhat. “Kalau ceritanya mirip sama pengalaman pribadi, ya biasanya tuh kerasa dalem banget. Tapi kalau misalnya beda jauh sama pengalaman pribadi, ya cuman didenger sambil lalu aja.”

Dalam website tersebut, Erita juga menjelaskan bahwa kalangan yang yang umumnya memiliki keterlibatan besar terhadap radio adalah remaja. Hal ini disebabkan karena perkembangan psikologis mereka. Remaja membutuhkan afiliasi (ikatan pada suatu hubungan), kasih sayang, dan ekspresi. Bagi mereka, radio merupakan hal yang menyenangkan.

Selain itu, ada pula yang mengkategorikan bahwa ketertarikan mendengarkan radio karena adanya trend karena memang ada trend yangs elalu dikejar oleh remaja, menurut Erita. Berdasarkan hasil wawancara yang dipaparkan dalam website http://powerfulqueen.multiply.com, Fauziah Herawati, mahasiswi Komunikasi Universitas Mustopo, mengklaim bahwa dirinya sebagai salah satu pendengar radio, menjelaskan ketertarikannya terhadap program-program radio lebih disebabkan karena trend. “Ya, karena teman gue suka denger radio, gue jadi ikutan. Trend-lah,” jelasnya.

Demikian penjelasan yang dipaparkan oleh penulis berdasarkan hasil studi lapangan maupun literatur. Dapat disimpulkan bahwa meskipun radio bukan merupakan media yang paling sering diakses oleh masyarakat, namun radio tetap berusaha sebaik mungkin untuk menjalin ikatan emosional bagi pendengar setianya. Selain itu, kecenderungan orang dalam menikmati radio adalah karena adanya kebiasaan, karena kebutuhan, dan juga karena memang adanya trend.

Daftar Pustaka

Morissan. 2008. Manajemen Media Penyiaran: Strategi mengelola Radio dan Televisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Siregar, Ashadi. 2001. Menyingkap Media Penyiaran: Membaca televisi Melihat Radio. Yogyakarta: LP3Y.

Wilby, Pete & Andy Conroy. The Radio Handbook. 1994. London: Routledge.

hrn,amp-82, Bisnis Radio Semakin Bergairah. <http://www.suaramerdeka.com/harian/0504/14/eko03.htm&gt;, diakses pada tanggal 21 Mei 2010.

Ied-Gadis-Wetty,  Dunia Kecil: Sketsa Pendengar Radio.

<http://powerfulqueen.multiply.com/journal/item/6&gt;, diakses pada tanggal 21 Mei 2010.

<www.digilib.ui.ac.id/file?file=digital/126651-6014>, diakses pada tanggal 21 Mei 2010.


[1] Penulis melakukan wawancara terhadap 10 orang pendengar radio yang berumur 18-21 tahun, semua responden merupakan mahasiswa FISIP Univeristas Atma Jaya Yogyakarta. Penulis mengajukan lima pertanyaan kepada responden. Wawancara dilakukan pada tangga21 Mei 2010.


2 thoughts on “Radio sebagai Media Pengisi Waktu Luang

Leave a reply to gandes Cancel reply