Kelas Inspirasi Jakarta #4: Tentang Keseleo yang Terabaikan

Inilah Kelas Inspirasi yang tidak akan pernah terlupakan. Begitu banyak hikmah yang saya dapatkan.


Pertama kali ikut Kelas Inspirasi Jakarta. Sudah saya niatkan untuk mendaftar setelah ikut Rote Mengajar. Saya mendapat penempatan di SDN Pancoran 08 Pagi. Satu kelompok dengan teman-teman relawan yang keren dengan berbagai macam profesi. Ada yang dosen, pengusaha, jurnalis TV, application engineer, sampai staf KPK. Ketika masa-masa persiapan, saya tak bisa ikut survei sekolah bersama. Alhasil, saya survei sendiri.

Saat survei, saya bertemu dengan abang ojek pangkalan. Akamsi, anak kampung sini. Hapal betul gang-gang kecil. Syukurlah, dia juga mau menunggu saya yang waktu itu sempat mengobrol sebentar dengan Ibu Kepala Sekolah. Sepulang dari survei, abang ojek itu menawarkan untuk mengantarkan kembali pada hari H nanti.

“Saya sampai di Jakarta, subuh-subuh, lho bang… Enggak apa-apa?”

Katanya, enggak apa-apa. Oke, saya simpan kontaknya. Namanya, Bang Andi.

9 September 2015
Tiba waktunya Hari Inspirasi. Untuk menghindari kemacetan Senin, saya berangkat dari rumah pukul 03.30 WIB. Berlebihan ya? Hahaha… Kalau saya berangkat pukul 05.00 WIB, belum tentu bisa sampai di sekolah pukul 06.00 WIB. Supaya aman dan tidak degdegan, ya sudah. Dikira-kira saja. Pukul 03.30 WIB saya berangkat. Lebih baik menunggu daripada terlambat.

Untuk menghindari drama telat bangun, maka saya tidak tidur. Hehehe… Lagipula, masih ada properti yang belum selesai dikerjakan. Tak terasa, sopir taksi sudah menjemput.

Jalanan masih sepi. Jelas. Kalau seperti ini, ingin rasanya mendadak macet beberapa menit agar tidak kepagian. Saya sampai di perempatan Pancoran sekitar pukul 04.00 WIB kurang. Waktu tempuh Tangerang-Jakarta kurang dari 30 menit. Duh. Apakah Bang Andi sudah bangun?

“Saya malah belum tidur, Mba…” Katanya saat menjemput saya. Hahaha… Prinsipnya sama: daripada telat bangun.

Bang Andi ini baik sekali. Dia ikut menemani saya sampai gang depan sekolah sudah mulai agak ramai karena memang masih sepi meski tak jauh dari sana ada masjid. “Sampai sudah lewat shalat subuh, deh Mba. Nanti baru saya tinggal.”

Sekitar pukul 05.00 WIB, susana gang mulai ramai. Warga yang selesai shalat subuh mulai lalu-lalang. Tiga puluh menit kemudian, teman-teman relawan juga mulai berdatangan. Bang Andi pun pamit balik. “Kalau nanti mau jemput pas pulang, kabari saja, Mba. SMS ya…” Bang Andi menawarkan diri. Saya malah sempat ingin memesan ojek daring saja biar cepat datang. Kata Ibu Kepala Sekolah saat survei, banyak pengemudi ojek daring di sekitar sekolah.

Oke. Bang Andi balik. Saya menuju bangunan sekolah. Menyusuri gang yang berbeda ketika survei pertama kali. Menuruni undakan. Lalu, tiba-tiba…

CEKLEK!
Ini bukan suara pintu dibuka.
Kaki kiri saya “keceklek” alias keseleo. Saya enggak “ngeh”. Ternyata, turunannya cukup dalam. Karena memakai flat shoes, telapak kaki kiri bagian samping menyentuh jalanan gang yang berbatu-batu kerikil. Tubuh jadi tidak seimbang. Kaki kanan pun ikut jatuh. Saya pikir, ini jatuh biasa. Saya bangun kembali, lalu membersihkan celana yang kotor.

Tapi, kok nyeri juga ya… Saya lihat ada bakso, eh benjolan kecil di telapak sebelah kiri. Saya ambil botol air minum. Tuang air ke tisu. Saya usap benjolan itu biar terada adem. Kempes… kempes… kempes… Saya merapal mantra.

Semakin menuju pukul 07.00 WIB. Telapak kaki kiri perlahan-lahan membesar. Beberapa teman relawan menyarankan kalau saya tidak perlu mengajar. Tapi, saya tidak mau. Sudah diniatkan untuk datang, masa’ langsung pulang? Alhasil, saya tetap ajak Si Kaki Kiri tetap masuk ke kelas yang satu ke kelas yang lain. Bertemu dengan anak-anak adalah obat! Mestakung!

frz-84
DOK. Relawan Dokumentator Kak Frick

Kelas 6A
Perjumpaan pertama dimulai di Kelas 6. Kegiatan yang saya lakukan tidak jauh berbeda saat mengikuti Rote Mengajar. Misinya masih sama: mengenalkan budaya menulis dan membaca.

Setelah mengenalkan profesi sebagai penulis iklan, saya mengajak adik-adik menulis. Kali ini, temanya tentang rumah. Mereka diajak bercerita apa saja yang ada di rumah dan sekitarnya. Di sinilah momen mengenalkan 5W1H. Lalu, mengapa tentang rumah? Bagi saya, rumah adalah bagian terdekat dari seseorang. Bahkan, dari rumah pun, kita bisa sekilas belajar mengenai kehidupan pribadi seseorang.

Mereka menulis di lembar kartu pos dari Card to Post. Mereka seolah-olah sedang mengirimkan surat kepada orang lain. Bebas. Siapa saja yang ada di ruangan kelas. Eh, ternyata ada murid yang menuliskan cerita untuk saya. Sungguh menyembuhkan Si Kaki Kiri.

Kelas 1B
Berpindah ke kelas lain. Masuk di kelas 1 memang penuh tantangan. Takut krik-krik. Oleh karena itu, saya tidak banyak menjelaskan profesi. Kegiatan di kelas lebih banyak berbentuk aktivitas.

Ini kegiatan yang baru saya terapkan: tempel gambar. Adik-adik menempel gambar sesuai dengan tempatnya. Ada gambar latar kondisi lalu lintas kawasan Pancoran, tapi patung Pancoran tidak ada. Nah, adik-adik diminta untuk meletakkan patung dengan tepat. Ada juga gambar benda-benda lainnya yang harus ditempel sesuai dengan tempatnya, misal pesawat terbang dan mobil-mobilan. Beruntung, Bung Tommy dan Notoco Print-nya sangat lihai membaca rikues. Cetakan kertas tebal ukuran A4 dan stiker cutting. Hasilnya, sangat ciamik! Terima kasih, Tommy!

img_0469

Karena dikerjakan secara kelompok, kegiatan menempel selesai dalam waktu sekejap. Masih ada waktu kegiatan mengajar. Ada yang asyik wira-wiri, ada juga yang duduk anteng. Jreng! Begini to rasanya berada di kelas yang sering “dihindari” oleh beberapa relawan… Hehehe…

“Ayo, kita nyanyi!” Berada di depan kelas mau tak mau kita harus percaya diri 1000%. Saya sadar kalau suara sendiri bukanlah suara yang baik bagi kesehatan telinga. Tapi, ini salah satu solusi yang bisa dilakukan ketika alat peraga sudah digunakan. Kala itu, saya melihat bahwa adik-adik kelas 1 lebih senang diajak bergerak aktif.

Oke. Tempel stiker, sudah. Menyanyi juga sudah. Masih ada waktu lagi…

“Bu, aku bisa tulis nama!” Tiba-tiba seorang anak maju ke depan kelas. Dari tadi memang dia lebih banyak wira-wiri. Oh, oke. Akhirnya, saya ajak mereka semua menulis nama sendiri. Dengan cekatan, semua maju ke depan kelas. Antre giliran menulis nama. Kalau sudah menulis nama, mereka bebas menulis apa saja. Hahaha…

Tak terasa, waktu istirahat datang. Puji Tuhan, level ini bisa dihadapi dengan ajaib…

Kelas 3A
Di kelas ini, saya mengajak adik-adik membuat iklan pisang. Iya, kegiatan yang sama ketika ikut KG Inspirasi dan Rote Mengajar. Dengan menggunakan alat peraga yang sama, saya bisa mendapatkan respons yang berbeda. Inilah yang mengukuhkan saya bahwa tiap anak-anak memang punya keunikan sendiri-sendiri. Bahkan, bisa saja kalimat arahan yang diberikan tidaklah sama. Kalimat seperti A bisa diterima oleh murid di sekolah X, tetapi belum tentu bisa ditangkap dengan mudah oleh murid-murid di sekolah Y.

img_0472

Kelas 4B
Semakin siang, semakin pincang. Kaki kiri nyaris menyerupai lobak.

“Ibu, kakinya kenapa?”

“Ibu jatuh?”

Uh. Ibu guru yang satu ini lemah, Nak. Maaf, ya harus bertemu dengan kalian dengan kondisi seperti ini. Saya seharusnya mengajak Si Kaki Kiri menghampiri meja anak-anak satu per satu, tapi apa daya. Titik berdiri hanya ada satu. Di depan kelas, dengan kaki kanan yang lebih banyak menopang.

Sempat degdegan juga ketika teman relawan pengajar menceritakan kondisi kelas 4. Takut kalau tidak bisa mengontrol kelas. Beruntung, tidak ada “kehebohan” saat saya masuk kelas. Mereka jadi pendengar yang baik. Mungkin, mereka menjadi iba karena melihat Si Kaki Kiri. Kelas aman terkendali sampai jam mengajar selesai. Bagian terakhir, saya ajak mereka nyanyi yel-yel sekolah. Semangatnya luar biasa. Itu yang mereka sukai. Hehehe…

Panas makin terik. Kaki kiri semakin nyut-nyutan. Tapi, masih bisa saya ajak jalan, kok. Foto-foto bersama untuk penutupan. Seret-seret sedikit, masih sampai tujuan juga, lah…

***

Selesai sesi penutupan, saya baru ingat. tote bag masih ada di kelas terakhir. Ketika sedang mengumpulkan tenaga untuk kembali ke kelas, eh anak-anak menghampiri saya dan membawakan tote bag. “Ibu, ini tasnya masih di kelas…” Terima kasih banyak, ya Nak… kalian baik hati sekali. Lagi-lagi ini menyembuhkan…

“Kakinya gimana, Mba? Apa mau saya panggilkan tukang urut sekitar sini?” Kata salah seorang guru. Sungguh perhatian sekali. Tapi, saya tidak ingin teriak-teriak di sini. Biarlah saya teriak-teriak di rumah saja. Semoga kaki lobak ini bisa teratasi dengan segera.

“Bang Andi… Bisa jemput? Kaki saya keseleo, nih. Hahaha…” Akhirnya, panggil Bang Andi juga. Tak jadi pesan ojek daring. Iya, saya malah geli sendiri karena kok, bisa keseleo. Bang Andi pun ikut keheranan. Banyak bertanya ini-itu.

“Apa panggil tukang urut sini aje, Mba?” Lagi-lagi saya menolak kebaikan orang lain. Saya memang tak mau teriak-teriak kesakitan di sekolah. Biar di rumah saja.

“Sekarang baru terasa nyeri banget, kan? Kalau pas ngajar, enggak inget sakit, deh…” Kata Mama saat saya tiba di rumah.

frz-444
DOK. Relawan Dokumentator Kak Frick

Kelas Inspirasi pertama yang ceritanya memang lebih banyak drama keseleo. Sejak saat itu, saya vakum beberapa   dua belas bulan, menahan keinginan untuk ikut ini-itu karena kaki masih sebesar lobak. Kapok? Sama sekali tidak. Buktinya, 5 jam ikut Kelas Inspirasi Jakarta, saya bisa mengabaikan keseleo meski setelah itu, kaki jadi kaku. Thank you, kiddos!

*Dalam rangka setahunan bersama Si Kaki Kiri, saya menulis surat untuknya. Baca di sini.


Leave a comment