Malam ini, Berkereta Kembali

Malam ini, saya berkereta kembali. Anehnya, langit tak menunjukkan seperti malam-malam biasanya. Kali ini cerah. Bahkan, saya masih bisa melihat gumpalan awan berwarna terang. Apakah ini kebetulan saja?

Malam ini, saya berkereta kembali. Tetapi, bukan Senja Utama Solo ataupun Argo Lawu, dua kereta yang kerap menjadi teman perjalanan setiap akhir pekan. Entahlah, ini kereta apa namanya.

Malam ini, saya berkereta. Tetapi, saya dari tadi hanya berjalan menyusuri gerbong satu per satu. Sementara itu, kereta telah berjalan sejak 10 menit yang lalu. Konyol. Saya tidak bisa menemukan tempat duduk yang dipesan. Lebih konyol lagi, isi setiap gerbong terlihat sama, termasuk nomor gerbong: nol.

“Kursi saya nomor 7B. Ada di mana ya?” Akhirnya, saya bertanya kepada salah satu penumpang. Malu bertanya, sesat di jalan. Begitu kata peribahasa lawas.

“Saya tidak tahu persis nomor bangku itu ada di gerbong ke berapa. Yang jelas, di gerbong ini hanya ada sampai nomor 6.”

“Saya sudah melintasi tiga gerbong dan semuanya hanya berhenti pada nomor 6. Tapi, bangku nomor 7 itu ada?” Saya mulai mengeluh, meragu.

“Bangku itu ada. Dari sekian banyak gerbong, ada satu gerbong yang berisi bangku hingga nomor 7. Tenang saja. Cobalah cari dengan teliti,” pria tua itu meyakinkan saya bahwa pencarian tidak akan sia-sia, meski entah sampai kapan.

“Mengapa hanya saya yang dibuat susah? Apakah hanya kebetulan juga?” Saya semakin mengeluh. Harusnya tidak seperti ini.

“Tak perlu GR. Tadi juga ada orang yang mencari nomor 7A. Dia juga melanjutkan pencarian, kok,” sahut penumpang yang lain. Saya tersenyum, menarik napas, menjilat keluh yang telah terlontar.

Entah, ini sudah gerbong ke berapa. Sejak menanyakan keberadaan nomor kursi, saya tidak lagi menghitung gerbong. Satu hal yang dapat dilakukan adalah terus berjalan dan menemukan kursi yang telah dipesan meski entah kapan.

***

Nyaris empat puluh lima menit berjalan di atas kereta. Aneh. Sebelum berangkat, sepertinya kereta ini memiliki gerbong tak lebih dari sepuluh. Tetapi, mengapa rasanya seperti tidak pernah ada ujung? PT KAI harus bertanggung jawab!

Alih-alih ingin melepas lelah sejenak, saya masuk ke gerbong nol. Eh, semua gerbong kan bernomor sama. Hahaha…

Tak seperti gerbong-gerbong sebelumnya, gerbong yang satu ini tampak berbeda. PT KAI menyebutnya dengan istilah gerbong restorasi. Inilah tempat yang kini dibenci para perokok karena asap rokok tidak diperkenankan mengepul. Barangkali, kepulan asap mi rebus dan kopi hangat takut tersaingi.

Saya melirik jam tangan. Nyaris pukul sepuluh malam.

Sejumlah orang terlihat mengisi gerbong ini. Meski teh hangat dan mi mencoba memberi kehangatan, mereka tetap saja tak kuat berlama-lama menjauhkan diri dari telepon genggam. Untungnya, masih ada tempat duduk yang belum terisi.

Menghela napas sejenak. Menertawakan dan mempertanyakan kekonyolan malam ini. Selanjutnya, memesan teh manis hangat. “Iki maksude opo to, Gus?” Akhirnya, ketidakmengertian ini saya sampaikan kepada Tuhan.

“Maaf, saya enggak bermaksud jahat. Saya cuma mau numpang duduk di sini. Apakah boleh?” Sial. Ternyata, racauan tadi terdengar pria yang… sial. Wajahnya mirip dengan orang yang sering mengajak saya berdebat selama bertahun-tahun.

“Oh, maaf. Ndak apa-apa. Silakan saja.”

“Boleh minta tolong lagi? Tolong jaga tas laptop saya ya… Mau ke WC.”

Saya balas dengan senyum saja. Oalah, kenapa harus saya? Kenapa dia tidak menitipkan dengan bapak-bapak di seberang sana? Kenapa dia tidak ke WC dari tadi sebelum saya tiba di gerbong ini? Kekonyolan apa lagi ini?

Pada Rabu (21/8) malam
GERBONG KEBETULAN pada Rabu (21/8) malam.

Belum sempat dijawab Tuhan, pria itu sudah kembali.

“Makasih banyak, ya mba…”

“Iya, sama-sama, mas. Emang bahaya kalau ninggalin barang berharga di bagasi atas. Kalau ke mana-mana, memang lebih baik dibawa saja.”

“Lah, saya saja belum dapet tempat duduk, kok mba. Bawaan saya memang cuma laptop. Hahaha…”

Saya takjub. Pertama, ternyata orang ini senasib dengan saya. Kedua, ternyata orang ini masih bisa tertawa atas segala kejanggalan malam ini. Sementara saya, terlalu sibuk mengeluh, mempertanyakan, dan menduga-duga.

“Permisi, mba… Meja nomor 7 tadi pesan teh manis hangat? Ini pesanannya,” Tiba-tiba seorang petugas menghampiri.

“Tujuh?”

“Iya, mba. Nomor ada pinggir meja ini,” sang petugas memperlihatkan nomor yang direkatkan pada meja dengan sangat kalem. Sedangkan saya, nyaris pingsan.

“Ini nomor tujuh, mas? Lah, kursi saya 7A. Itu di mana?” Pria berpipi tirus yang duduk di hadapan saya masih saja bersemangat, terbaca jelas dari nada bicaranya yang antusias.

“Oh, coba lihat di belakang kursi,” sang petugas memeriksa sendiri. “Wah, kursi mas sedang diduduki mbak ini. Kursi yang mas duduki itu nomor 7B,” lanjutnya dengan nada bicara yang konstan.

Satu gerbong yang berbeda. Kursi yang memang tidak dipenuhi oleh penumpang di dalam gerbong ini.

Matur nuwun, Gusti… Aku enthuk kursi…!!” Teriakan pria itu semakin membuat tubuhku lemas.

“Eh, mba.. kok, wajahmu familier ya? Mirip teman saya enam tahun yang lalu…” Selesai berteriak, ia mengamati wajah saya. Gusti, iki opo maksude?

*Ada yang tak perlu terus-menerus dipertanyakan dan dielu-elukan. Segala hal yang dipercayai sebagai (bukan) kebetulan adalah bagian dari perjalanan. Terlalu peka terkadang membuat kita terlalu asyik mengumpulkan pertanda dan berusaha keras merunutkan benang merah dari setiap kejadian. Manusia barangkali bisa membaca pertanda, tetapi kesemuanya tetaplah menawarkan ketidakpastian. Biarkan semesta yang bekerja untuk mengartikan.

“Jika kebetulan terjadi terlalu banyak, apakah kamu percaya bahwa itu tidak bermakna?” –Ayu Utami

Bisa jadi itu bermakna, tetapi manusia hanya bisa mereka-reka dalam ketidakpastian. Biarkan semesta yang mengartikan.


2 thoughts on “Malam ini, Berkereta Kembali

  1. “Terlalu peka terkadang membuat kita terlalu asyik mengumpulkan pertanda dan berusaha keras merunutkan benang merah dari setiap kejadian. Manusia barangkali bisa membaca pertanda, tetapi kesemuanya tetaplah menawarkan ketidakpastian. Biarkan semesta yang bekerja untuk mengartikan.”

    kesepet, ndes…nyahahaha

Leave a comment